Dalam melaksanakan Nyepi, pada intinya umat Hindu melaksanakan proses keagamaan untuk pembersihkan diri, alam semesta dan lingkungan, serta menempatkan makhluk alam bawah sesuai dengan tempatya. Lalu, apa konteks pantai, sungai, serta "pempatan agung" dalam perayaan Nyepi ini?
PADA Hari Raya Nyepi, umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan berupa pengendalian api hawa nafsu (amati geni), tidak melakukan kerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak berhura-hura (amati lelangunan). Pada hari itulah umat Hindu melakukan instropeksi diri, perenungan diri dalam keheningan alam, untuk meningkatkan kualitas rohani.
Sebelum introspeksi dan perenungan diri di dalam "kesepian alam" dilakukan, pelaksanaan Nyepi didahului dengan proses mekiis/melis atau melasti ke laut. Kegiatan ini dilakukan tiga atau dua hari sebelum Nyepi, berupa kegiatan "pembersihan" benda-benda suci atau sakral pura yang dilakukan di laut. Dalam kegiatan ini semua umat Hindu dari berbagai desa adat melakukan prosesi iring-iringan (mekiis/melis) ke pantai terdekat, kemudian melakukan upacara "pembersihan" (melasti) benda-benda suci/sakral dengan air laut yang telah disucikan. Setelah melaksanakan persembahyangan, kemudian dilakukan lagi prosesi iring-iringan kembali ke pura.
Dalam hal inilah pantai sebagai ruang terbuka sangat diperlukan oleh umat Hindu untuk melakukan kegiatan religi. Laut bagi umat Hindu berfungsi sebagai pelebur atau pembersih segala kekotoran jasmani dan rohani. Di sinilah ber-stana Dewa Baruna, sebagai manifestasi Tuhan yang bertugas untuk menganugerahkan air suci (tirta) untuk membersihkan segala kekotoran jasmani dan rohani.
Selain itu, dalam prosesi upacara pembakaran jenazah (Ngaben), laut juga memiliki arti penting, sebagai tempat untuk menghanyutkan abu jenazah agar jiwa (atman) dari orang yang meninggal segera bersih dan unsur-unsur fisiknya segera bisa menyatu dengan unsur-unsur alam pembentuknya.
Oleh karena pantai sangat diperlukan oleh umat Hindu di Bali untuk kegiatan religi, maka apabila ada pantai diblokir oleh pemilik-pemilik hotel atas nama pariwisata, maka pasti akan terjadi masalah bila pihak pengelola atau pemilik hotel tersebut tidak menyediakan jalan alternatif menuju pantai. Karena itu, sudah seyogyanya sebelum hotel dibangun di tepi pantai, Pemda Bali harus memberi masukan kepada konsultan perencana dan pemilik hotel tersebut tentang arti penting pantai bagi umat Hindu di Bali.
Selain pantai, sungai juga memiliki arti penting bagi umat Hindu, terutama umat yang berada di pegunungan, dalam arti sangat jauh dari pantai. Maka pelaksanaan proses mekiis atau melasti dan upacara penghanyutan abu jenazah dalam prosesi upacara Ngaben, bisa dilaksanakan di sungai terdekat. Karena aliran sungai tersebut berhubungan dengan laut atau menuju laut, tempat stana Dewa Baruna yang bertugas membersihkan segala "kekotoran" jasmani dan rohani. Apabila aliran sungai tersebut di bagian hulunya memiliki percabangan atau bersumber dari dua aliran (campuhan), maka umat Hindu akan melakukan berbagai prosesi upacara keagamaan di bagian hilir dari percabangan aliran sungai tersebut. Dalam keyakinan Hindu, aliran sungai yang bersumber dari dua aliran di bagian hulunya, memiliki tata nilai paling suci. Sungai itulah yang paling baik difungsikan sebagai media pembersihan jasmani dan rohani.
Perempatan Jalan
Sehari sebelum perayaan Nyepi bertepatan dengan bulan mati (tilem) pada bulan kesembilan (kesanga) menurut perhitungan bulan Hindu (lunar system), umat akan melaksanakan upacara kurban ini ditujukan kepada mahluk-mahluk alam bawah (bhuta yadnya), agar tidak merusak atau mengganggu tatanan kehidupan di dalam kosmos. Pelaksanaan upacara kurban suci ini dilakukan sesuai dengan konsep Tri Hitakarana, untuk menjaga keselarasan (equilibrium) hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan alam lingkungan dan mahluk-mahluk alam bawah yang ada. Upacara ini dilakukan bertahap dari tingkat negara, wilayah atau desa, banyak dan rumah tangga.
Pelaksanaan upacara Tawur Kesanga dilakukan di perempatan jalan pusat pemukiman (pempatan agung), karena dalam konsep ruang arsitektur tradisional di Bali, perempatan pusat pemukiman (desa) merupakan pusat persilangan orientasi religi sumbu bumi dan sumbu matahari yang setara dengan titik pusat koordinat yang memiliki nilai "nol". Konsep ruang dalam keyakinan Hindu, nilai "nol" tidak berarti kosong. Tetapi seperti buah kelapa kosong yang ada isinya (nyuh puyung sugih), atau seperti "manik ring cecupu" (isi dan wadahnya), terlihat kosong tetapi ada isinya. Konsep ruang ini sama dengan konsep Ketuhanan, "ada dan tiada" -- "ada" tetapi "tidak terlihat".
Dalam konteks ini, titik nol dalam konsep ruang tidak berarti kosong, tetapi bermakna "mahasempurna". Dalam konsep ini umat Hindu di Bali meyakini bahwa hal-hal yang bersifat merusak atau negatif akan menjadi netral (pralina) setelah diproses secara ritual di perempatan pusat pemukiman. Karena perempatan pusat pemukiman itu memiliki arti penting dalam kegiatan religi, maka dalam konsep ruang tradisional Bali, di masing-masing sudut perempatan tersebut, disediakan tanah kosong (karang tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai "ruang terbuka hijau" bebas bangunan.
Sistem Matahari-Bulan
Pelaksanaan Nyepi dikaitkan dengan perayaan Tahun Baru Saka. Perhitungan Tahun Baru Saka telah dimulai di India sejak penobatan Raja Kaniska I Pada 78 Masehi. Raja Kaniska I sangat menghargai tolerasi beragama, pandai dalam soal politik ketatanegaraan, budaya, ekonomi dan agama. Penanggalan tahun Saka ini diangkat dari kebiasaan rakyat taklukannya, yaitu suku bangsa Saka yang telah menggunakan penanggalan tahun Saka sejak 58 sebelum Masehi. Pelaksanaan Nyepi umat Hindu di Indonesia didasarkan pada "Surya Pramana", perhitungan posisi bumi terhadap matahari (solar system) terkait dengan iklim, dipadukan dengan "Chandra Pramana", perhitungan posisi bulan terhadap matahari dari bumi (lunar system). Berkaitan dengan perhitungan "Surya Pramana" tersebut, maka Nyepi secara umum dilaksanakan pada bulan Maret, yang merupakan bulan penting dan suci bagi umat Hindu. Disebut bulan yang penting dan suci karena Maret atau bulan ke-9 (sasih kesanga) menurut Hindu, merupakan bulan yang memiliki angka tertinggi dan spesifik. Sebab, berapapun dikalikan 9, hasil bila dijumlah akan menjadi sembilan.
Selain itu secara astronomi, pada bulan Maret matahari tepat berada di garis khatulistiwa, kemudian bergerak ke belahan bumi utara (utarayana) sampai 22 Juni di garis lintang 23,5�. Selanjutnya matahari kembali berada di garis khatulistiwa pada bulan September dan bergerak lagi ke belahan bumi selatan (dakshinayana) sampai 22 Desember pada garis lintang 22,5�. Dan pada Maret matahari kembali berada di atas garis khatulistiwa. Karena itulah Maret dipandang sebagai peristiwa penting dan suci bagi umat Hindu, sehingga upacara-upacara pensucian dilaksanakan pada Maret setiap tahun, pada saat matahari akan menuju utarayana.
Berkaitan dengan perhitungan "Chandra Pramana", pelaksanaan Tawur Kesanga perayaan Nyepi dilaksanakan pada saat bulan mati (tilem). Dan esoknya yang disebut "penanggal 1", mulailah dilakukan perhitung tanggal 1 dalam tahun baru Saka pada bulan baru sasih kedasa (bulan ke-10). Jadi dalam melaksanakan Nyepi, pada intinya umat Hindu melaksanakan proses keagamaan untuk pembersihkan diri, alam semesta dan lingkungan, serta menempatkan makhluk alam bawah sesuai dengan tempatnya.
Prosesi ini dimulai dari proses pembersihan jasmani dan rohani di laut, dilanjutkan dengan upacara kurban di perempatan pusat pemukiman, dan diakhiri dengan kegiatan rohani pengendalian diri untuk meningkatkan kualitas rokhani. Semua ini dilaksanakan agar kehidupan di bumi menjadi selaras, serasi dan seimbang, terbebas dari kebatilan, terbebas malapetaka dan kekacauan, sehingga umat manusia menjadi sejahtera sesuai dengan kosmologi Hindu.
Kebetulan setelah perayaan Nyepi tahun ini umat Hindu juga merayakan Hari Raya Saraswati dan Pagerwesi. Dekatnya rangkaian hari-hari raya ini memiliki makna yang sangat mendalam bagi umat Hindu. Sebab Hari Raya Saraswati yang merupakan hari turunnya ilmu pengetahuan, akan menyadarkan uamt Hindu bahwa kesombongan diri dalam intelektual, maupun penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan bisa merusak tatanan peradaban. Kemudian pada Pagerwesi yang secara harfiah berarti "pagar besi", umat Hindu diingatkan untuk selalu "memagari diri" dalam kerohanian agar unsur-unsur negatif tidak bisa masuk untuk mengotori diri dan merusak lingkungan di dalam kosmos.
PADA Hari Raya Nyepi, umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan berupa pengendalian api hawa nafsu (amati geni), tidak melakukan kerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak berhura-hura (amati lelangunan). Pada hari itulah umat Hindu melakukan instropeksi diri, perenungan diri dalam keheningan alam, untuk meningkatkan kualitas rohani.
Sebelum introspeksi dan perenungan diri di dalam "kesepian alam" dilakukan, pelaksanaan Nyepi didahului dengan proses mekiis/melis atau melasti ke laut. Kegiatan ini dilakukan tiga atau dua hari sebelum Nyepi, berupa kegiatan "pembersihan" benda-benda suci atau sakral pura yang dilakukan di laut. Dalam kegiatan ini semua umat Hindu dari berbagai desa adat melakukan prosesi iring-iringan (mekiis/melis) ke pantai terdekat, kemudian melakukan upacara "pembersihan" (melasti) benda-benda suci/sakral dengan air laut yang telah disucikan. Setelah melaksanakan persembahyangan, kemudian dilakukan lagi prosesi iring-iringan kembali ke pura.
Dalam hal inilah pantai sebagai ruang terbuka sangat diperlukan oleh umat Hindu untuk melakukan kegiatan religi. Laut bagi umat Hindu berfungsi sebagai pelebur atau pembersih segala kekotoran jasmani dan rohani. Di sinilah ber-stana Dewa Baruna, sebagai manifestasi Tuhan yang bertugas untuk menganugerahkan air suci (tirta) untuk membersihkan segala kekotoran jasmani dan rohani.
Selain itu, dalam prosesi upacara pembakaran jenazah (Ngaben), laut juga memiliki arti penting, sebagai tempat untuk menghanyutkan abu jenazah agar jiwa (atman) dari orang yang meninggal segera bersih dan unsur-unsur fisiknya segera bisa menyatu dengan unsur-unsur alam pembentuknya.
Oleh karena pantai sangat diperlukan oleh umat Hindu di Bali untuk kegiatan religi, maka apabila ada pantai diblokir oleh pemilik-pemilik hotel atas nama pariwisata, maka pasti akan terjadi masalah bila pihak pengelola atau pemilik hotel tersebut tidak menyediakan jalan alternatif menuju pantai. Karena itu, sudah seyogyanya sebelum hotel dibangun di tepi pantai, Pemda Bali harus memberi masukan kepada konsultan perencana dan pemilik hotel tersebut tentang arti penting pantai bagi umat Hindu di Bali.
Selain pantai, sungai juga memiliki arti penting bagi umat Hindu, terutama umat yang berada di pegunungan, dalam arti sangat jauh dari pantai. Maka pelaksanaan proses mekiis atau melasti dan upacara penghanyutan abu jenazah dalam prosesi upacara Ngaben, bisa dilaksanakan di sungai terdekat. Karena aliran sungai tersebut berhubungan dengan laut atau menuju laut, tempat stana Dewa Baruna yang bertugas membersihkan segala "kekotoran" jasmani dan rohani. Apabila aliran sungai tersebut di bagian hulunya memiliki percabangan atau bersumber dari dua aliran (campuhan), maka umat Hindu akan melakukan berbagai prosesi upacara keagamaan di bagian hilir dari percabangan aliran sungai tersebut. Dalam keyakinan Hindu, aliran sungai yang bersumber dari dua aliran di bagian hulunya, memiliki tata nilai paling suci. Sungai itulah yang paling baik difungsikan sebagai media pembersihan jasmani dan rohani.
Perempatan Jalan
Sehari sebelum perayaan Nyepi bertepatan dengan bulan mati (tilem) pada bulan kesembilan (kesanga) menurut perhitungan bulan Hindu (lunar system), umat akan melaksanakan upacara kurban ini ditujukan kepada mahluk-mahluk alam bawah (bhuta yadnya), agar tidak merusak atau mengganggu tatanan kehidupan di dalam kosmos. Pelaksanaan upacara kurban suci ini dilakukan sesuai dengan konsep Tri Hitakarana, untuk menjaga keselarasan (equilibrium) hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan alam lingkungan dan mahluk-mahluk alam bawah yang ada. Upacara ini dilakukan bertahap dari tingkat negara, wilayah atau desa, banyak dan rumah tangga.
Pelaksanaan upacara Tawur Kesanga dilakukan di perempatan jalan pusat pemukiman (pempatan agung), karena dalam konsep ruang arsitektur tradisional di Bali, perempatan pusat pemukiman (desa) merupakan pusat persilangan orientasi religi sumbu bumi dan sumbu matahari yang setara dengan titik pusat koordinat yang memiliki nilai "nol". Konsep ruang dalam keyakinan Hindu, nilai "nol" tidak berarti kosong. Tetapi seperti buah kelapa kosong yang ada isinya (nyuh puyung sugih), atau seperti "manik ring cecupu" (isi dan wadahnya), terlihat kosong tetapi ada isinya. Konsep ruang ini sama dengan konsep Ketuhanan, "ada dan tiada" -- "ada" tetapi "tidak terlihat".
Dalam konteks ini, titik nol dalam konsep ruang tidak berarti kosong, tetapi bermakna "mahasempurna". Dalam konsep ini umat Hindu di Bali meyakini bahwa hal-hal yang bersifat merusak atau negatif akan menjadi netral (pralina) setelah diproses secara ritual di perempatan pusat pemukiman. Karena perempatan pusat pemukiman itu memiliki arti penting dalam kegiatan religi, maka dalam konsep ruang tradisional Bali, di masing-masing sudut perempatan tersebut, disediakan tanah kosong (karang tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai "ruang terbuka hijau" bebas bangunan.
Sistem Matahari-Bulan
Pelaksanaan Nyepi dikaitkan dengan perayaan Tahun Baru Saka. Perhitungan Tahun Baru Saka telah dimulai di India sejak penobatan Raja Kaniska I Pada 78 Masehi. Raja Kaniska I sangat menghargai tolerasi beragama, pandai dalam soal politik ketatanegaraan, budaya, ekonomi dan agama. Penanggalan tahun Saka ini diangkat dari kebiasaan rakyat taklukannya, yaitu suku bangsa Saka yang telah menggunakan penanggalan tahun Saka sejak 58 sebelum Masehi. Pelaksanaan Nyepi umat Hindu di Indonesia didasarkan pada "Surya Pramana", perhitungan posisi bumi terhadap matahari (solar system) terkait dengan iklim, dipadukan dengan "Chandra Pramana", perhitungan posisi bulan terhadap matahari dari bumi (lunar system). Berkaitan dengan perhitungan "Surya Pramana" tersebut, maka Nyepi secara umum dilaksanakan pada bulan Maret, yang merupakan bulan penting dan suci bagi umat Hindu. Disebut bulan yang penting dan suci karena Maret atau bulan ke-9 (sasih kesanga) menurut Hindu, merupakan bulan yang memiliki angka tertinggi dan spesifik. Sebab, berapapun dikalikan 9, hasil bila dijumlah akan menjadi sembilan.
Selain itu secara astronomi, pada bulan Maret matahari tepat berada di garis khatulistiwa, kemudian bergerak ke belahan bumi utara (utarayana) sampai 22 Juni di garis lintang 23,5�. Selanjutnya matahari kembali berada di garis khatulistiwa pada bulan September dan bergerak lagi ke belahan bumi selatan (dakshinayana) sampai 22 Desember pada garis lintang 22,5�. Dan pada Maret matahari kembali berada di atas garis khatulistiwa. Karena itulah Maret dipandang sebagai peristiwa penting dan suci bagi umat Hindu, sehingga upacara-upacara pensucian dilaksanakan pada Maret setiap tahun, pada saat matahari akan menuju utarayana.
Berkaitan dengan perhitungan "Chandra Pramana", pelaksanaan Tawur Kesanga perayaan Nyepi dilaksanakan pada saat bulan mati (tilem). Dan esoknya yang disebut "penanggal 1", mulailah dilakukan perhitung tanggal 1 dalam tahun baru Saka pada bulan baru sasih kedasa (bulan ke-10). Jadi dalam melaksanakan Nyepi, pada intinya umat Hindu melaksanakan proses keagamaan untuk pembersihkan diri, alam semesta dan lingkungan, serta menempatkan makhluk alam bawah sesuai dengan tempatnya.
Prosesi ini dimulai dari proses pembersihan jasmani dan rohani di laut, dilanjutkan dengan upacara kurban di perempatan pusat pemukiman, dan diakhiri dengan kegiatan rohani pengendalian diri untuk meningkatkan kualitas rokhani. Semua ini dilaksanakan agar kehidupan di bumi menjadi selaras, serasi dan seimbang, terbebas dari kebatilan, terbebas malapetaka dan kekacauan, sehingga umat manusia menjadi sejahtera sesuai dengan kosmologi Hindu.
Kebetulan setelah perayaan Nyepi tahun ini umat Hindu juga merayakan Hari Raya Saraswati dan Pagerwesi. Dekatnya rangkaian hari-hari raya ini memiliki makna yang sangat mendalam bagi umat Hindu. Sebab Hari Raya Saraswati yang merupakan hari turunnya ilmu pengetahuan, akan menyadarkan uamt Hindu bahwa kesombongan diri dalam intelektual, maupun penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan bisa merusak tatanan peradaban. Kemudian pada Pagerwesi yang secara harfiah berarti "pagar besi", umat Hindu diingatkan untuk selalu "memagari diri" dalam kerohanian agar unsur-unsur negatif tidak bisa masuk untuk mengotori diri dan merusak lingkungan di dalam kosmos.